Kuliah Umum Bersama Syaikh Dr. Usamah Al-Sayyid al-Azhari
Kuliah Umum Bersama Syaikh Dr. Usamah Al-Sayyid al-Azhari (18/11/2022).
“Pentingnya Pendalaman dan Moderasi dalam Memahami Wacana Keagamaan untuk Menghadapi Tantangan dan Perubahan Realitas di Masa Depan”
Jum’at, 18 November 2022, Program Pendidikan
Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI) mendapat kunjungan dari seorang Ulama
kenamaan dunia. Kunjungan tersebut datang dari Ulama besar Mesir, Syaikh Dr.
Usamah al-Sayyid al-Azhari, yang juga merupakan penasihat Presiden Republik
Mesir. Beliau dengan sangat hangat menyapa sekaligus memberikan kuliah umum kepada
para mahasiswa PKUMI baik dari jenjang S2 PKU, S2 PKUP dan S3 PKU di ruang
utama masjid Istiqlal. Kuliah umum ini disampaikan tanpa penerjemah sebagai
bagian dari upaya pengelola program PKUMI untuk meningkat kemampuan bahasa Arab
para mahasiswa.
Ada beberapa poin
utama yang beliau sampaikan kepada para mahasiswa pada kesempatan kali ini.
Pertama, beliau mengilustrasikan bahwa kondisi zaman saat ini (degradasi moral)
menuntut para pembelajar maupun cendekiawan untuk senantiasa menunjukkan etika
atau budi luhurnya baik sebagai person maupun sebagai bagian dari masyarakat
sosial. Kedua, beliau menekankan pentingnya seseorang pembelajar ilmu-ilmu
keIslaman (Islamic studies), terutama yang sedang berproses menjadi
Ulama/ cendekiawan, untuk senantiasa bersungguh-sungguh dalam proses yang
ditempuhnya. Bagi beliau, dalam proses tersebut tentu akan ada masyaqqah atau
rintangan-rintangan yang dihadapi seorang pembelajar, maka sikap sabar akan
mengantarkannya pada kenikmatan dalam menjalani proses serta manisnya ilmu.
Sebagaimana beliau mengutip salah satu bait syair dari Syaikh Rifa’ah Thahthawi
dan menjadi pegangan para alumnus al-Azhar:
تعلم العلم واقرأ
# تحز فخار النبوة
فالله قال
ليحيى # خذ الكتاب بقوة
“Pelajarilah ilmu dan membacalah # Maka engkau akan mendapati
kemuliaan nubuwwah”
“Sebagaimana Allah berkata pada Yahya As. # Ambillah (pelajarilah) kitab itu (Taurat) dengan sungguh-sungguh”
Ketiga, beliau menerangkan bahwa dalam tradisi
al-Azhar ada 12 ilmu yang harus dikuasai seorang pembelajar untuk mencapai
level seorang Ulama. Ke-12 ilmu ini kemudian terejawantahkan kepada 4 mahārah
(skills/ keahlian): 1) al-fahm wa al-ifhām; 2) al-taṡabbut
wa al-tauṡīq; 3) al-ḥujjiyah wa al-takhyīr; 4) binā’ al-insān.
Mahārah pertama dan ketiga mencakup penguasaan terhadap beberapa keilmuan
pokok dalam upaya memahami ajaran Islam melalui kerangka teoretis yang tepat, diantaranya
stilistika bahasa Arab—sebagai bahasa yang diakomodasi oleh sumber-sumber
primer Islam, Ushūl Fiqh, Maqāshid al-Syarī‘ah, Ulūm al-Qur’an, Ulūm
al-Hadiṡ dan lainnya. Lalu mahārah kedua berkaitan dengan etika yang
harus dipegang oleh seorang Ulama/ cendekiawan yaitu harus bertanggung jawab
dalam setiap ungkapan dan pemikiran yang dikemukakannya dengan memiliki
landasan argumen yang jelas. Beliau juga menyinggung bahwa sanad keilmuan
sangat penting pada mahārah ini.
Apa yang beliau
sampaikan menjadi sangat penting dan mendasar sebab dewasa ini kerapkali dijumpai
oknum-oknum yang mengatasnamakan al-Qur’an dan Hadis untuk menjustifikasi orang
lain “salah” dan memonopoli kebenaran sebagai miliknya sendiri. Padahal jika
diteliti ternyata apa yang mereka pahami dari al-Qur’an maupun hadis merupakan pemahaman
yang tidak tepat dan tidak berdasar serta terkesan mengulangi fenomena khawarij-isme
di era awal Islam. Beliau juga mengutip dan menguraikan salah satu hadis yang
menggambarkan fenomena yang relevan dengan apa yang terjadi saat ini,
إن مما أتخوف عليكم رجل قرأ القرأن حتى إذا رئيت
بهجته و كان ردءا للإسلام غيره الى ما شاء الله، انسلخ منه و نبذه وراء ظهره و خرج
على جاره بالسيف و رماه بالشرك. قال: قلت: يا رسول الله، أيهما أولى بالشرك،
المرمي أو الرامي؟ قال: لا، بل الرامي
“Diantara hal yang sangat aku takutkan pada kalian adalah
seseorang yang rajin membaca Al-Quran hingga terlihat sangat indah dari
luarnya, dan ia sangat semangat membantu agama Islam. Kemudian ia merubah arah
maknanya, melepas diri dari Al-Quran, dan melempar apa yang ia
telah baca ke belakang punggungnya. Hingga ia keluar ke rumah tetangganya dengan
menghunuskan pedang dan menuduhnya melakukan perbuatan syirik. Hudzaifah
bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang lebih berhak mendapatkan stempel syirik,
orang yang menuduh atau yang tertuduh?“, Rasulullah menjawab, “Orang yang menuduh lebih
berhak mendapatkan stempel syirik.”
Diskusi tidak berlangsung monolog, sebab mahasiswa diberikan
kesempatan untuk merespon maupun mengajukan pertanyaan. Salah satu pertanyaan bahkan
memantik diskusi lanjutan mengenai pandangan Syaikh Dr. Usamah terhadap “Ulama
Perempuan”. Beliau pun menceritakan bahwa salah satu gurunya ada yang perempuan
dan merupakan salah satu cendekiawan muslim ternama di jazirah Arab, yaitu
Almh. Dr. Abla al-Kahlawi. Kisah yang beliau sampaikan memberikan inspirasi
bahwa perempuan memiliki potensi yang sama dengan laki-laki dalam segala
termasuk menjadi seorang cendekiawan muslim/ Ulama. Maka kehadiran program PKUP
(Pendidikan Kader Ulama Perempuan) menjadi wujud nyata bahwa Istiqlal ingin
melakukan reformasi sosial terhadap budaya yang selama ini membelenggu potensi
perempuan. Kuliah umum bersama Syaikh Dr. Usamah kemudian ditutup dengan doa
yang langsung dipimpin oleh beliau dan secara khusus mendoakan para mahasiswa
agar dapat meneruskan estafet para Ulama. (Alif Jabal Kurdi/ S2 PKU)